Selasa, 20 Mei 2014

Hal - hal yang Membatalkan Wudhu






Ternyata tiap mazhab berbeda-beda dalam menetapkan apa saja yang bisa membatalkan wudhu. Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, masing-masing saling berbeda.

Wudhu merupakan salah satu cara menjaga kebersihan badan dari hadats dan najis (thohaarotul badan), selain dengan mandi dan tayammum. Karena kebersihan badan merupakan salah satu syarat diterimanya ibadah yang diwajibkan oleh Allah, yaitu sholat.
Sebagaimana telah Allah sebutkan dalam Al- Qur’an surah Al- Maidah ayat 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (6)
“Hai orang – orang yang beriman, apabila kalian hendak mendirikan sholat maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kedua kakimu sampai dua mata kaki. Dan apabila kamu dalam keadaan junub (hadats besar) maka mandilah. Dan jika kamu dalam keadaan sakit, atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air besar, atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak menemukan air, maka bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahu dan tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyusahkanmu, tetapi Ia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya untukmu agar kamu bersyukur.”
Dari ayat diatas, Allah menjelaskan secara gambling tentang tata cara berwudhu -jika berhadats kecil- sebagai syarat sahnya sholat (yakni wajibnya thoharoh). Dan apabila tidak menemukan air maka digantikan dengan tayammum.
Pengertian Naaqidh Al- Wudhu
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa wudhu merupakan syarat sahnya sholat. Maka ketika seseorang kehilangan wudhu atau batal wudhunya, karena beberapa sebab, wajib baginya mengulang wudhu kembali. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah naaqidh al- wudhu.
Secara bahasa, naaqidh merupakan bentuk mashdar dari naqodho yanqudhu naqdhan yang berarti membatalkan. Menurut istilah, naaqidhadalah hilangnya keabsahan suatu hukum karena sebab – sebab tertentu. Jika disandarkan dengan kata wudhu, maka dapat diartikan dengan hilangnya keabsahan wudhu sebagai syarat sahnya sholat.[i]
Ada beberapa hal yang menjadi kesepakatan ulama fiqih dalam menentukan sebab – sebab batalnya wudhu. Namun ada juga beberapa sebab yang menjadi perbedaan dikalangan para ulama empat madzhab.
Pendapat Ulama Empat Madzhab
Ulama fiqih empat madzhab berbeda pendapat tentang sebab yang dapat membatalkan wudhu. Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa wudhu seseorang menjadi batal karena 12 sebab. Sedangkan Imam Malik hanya membaginya kedalam 3 hal besar. Berbeda dengan kedua imam diatas, Imam Syafi’I memasukkan 4 hal yang menjadi sebab batalnya wudhu. Dan Imam Ahmad membuat 8 sebab yang termasuk kedalam naaqidh al- wudhu.[ii]
Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah menjelaskan ada dua belas hal yang termasuk kedalam sebab – sebab batalnya wudhu.
1. Semua yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) 
Imam empat madzhab bersepakat bahwa semua yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) adalah najis dan termasuk kedalam sebab yang membatalkan wudhu, baik yang biasa keluar seperti air seni, kotoran, angin, mani, madzi dan wadi, ataupun yang diluar kebiasaan pada umumnya seperti cacing, batu kerikil, dan darah.
Sebagaimana tertulis dalam surah Al- Maidah ayat 6 :
أو جاء أحد أحد منكم من الغائط
“atau kembali dari tempat buang air besar”
Akan tetapi, Imam Hanafi membedakan antara angin yang keluar dari dubur dengan angin yang keluar dari kemaluan. Menurut madzhab hanafi, angin yang keluar dari kemaluan tidak membatalkan wudhu. Karena hal tersebut bukan termasuk angin yang berasal dari perut sehingga tidak menjadikannya najis yang dapat membatalkan thoharoh.
2. Wanita yang melahirkan namun darah yang keluar hanya sedikit
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang baru melahirkan namun darah yang keluar diluar kebiasaan wanita pada umumnya, maka ia tidak dihukumi wanita dalam keadaan nifas. Dan wajib baginya wudhu.[iii]
3. Wanita yang mengalami istihadhoh
Darah istihadhoh yang keluar dapat membatalkan wudhu. Karena itu wajib baginya berwudhu setiap kali masuk waktu masuk sholat.[iv]
4. Sesuatu yang keluar selain dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti darah atau nanah
Madzhab Hanafi menyaratkan adanya aliran dari darah atau nanah yang mengalir dari tempat keluarnya ke badan. Sebab adanya aliran darah atau nanah dari luka yang mengalir merupakan najis dan menjadi sebab batalnya wudhu.
Apabila darah atau nanah tidak mengalir, maka bukan termasuk najis sehingga tidak membatalkan wudhu.[v]
Hal tersebut berdasarkan hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Daaruquthni dalam kitabnya Nashab Ar- Royah :
 "الْوُضُوءُ مِنْ كُلِّ دَمٍ سَائِلٍ"
"(diwajibkan) berwudhu bagi setiap darah yang mengalir” (HR. Daaruquthni)
5. Al- Qoy’u (muntah)
Dalam hal ini, Imam Hanafi bersepakat dengan Imam Ahmad bahwa muntah menjadi sebab batalnya thoharoh. Namun madzhab ini memberikan syarat kadar muntah yang dikeluarkan.
Jika muntahnya banyak dan memenuhi mulut, maka termasuk najis dan harus mengulang wudhu kembali, baik muntah yang berasal dari jenis makanan padat ataupun minuman.
Akan tetapi, jika muntah hanya sedikit saja maka tidak termasuk najis. [vi]
6. Muntah yang disebabkan karena mabuk kendaraan.
7. Darah yang keluar dari mulut seperti air ludah atau sejenisnya.
8. Tidur yang panjang dan dalam waktu yang lama
Imam Hanafi mengelompokkan tidur ke dalam beberapa jenis dilihat dari hai’ah (posisi tidurnya).
Tidur dalam posisi berbaring membatalkan wudhu, walaupun hanya sejenak. Apabila tidur dalam posisi duduk, maka tidak membatalkan wudhu.
«لَيْسَ عَلَى مَنْ نَامَ سَاجِدًا وُضُوءٌ حَتَّى يَضْطَجِعَ »  
 Tidak wajib berwudhu bagi orang yang tidur dalam keadaan sujud sampai ia berbaring. (HR. Ahmad)
9. Berubahnya posisi tidur
Seseorang yang tidur dalam posisi duduk, kemudian posisinya berubah dari posisi asalnya sebelum ia benar- benar sadar, maka wudhunya menjadi batal dan harus mengulangnya kembali.
10. Hilang akal yang disebabkan karena narkoba, minuman keras, pingsan ataupun gila.
11. Al- Qohqoha (terbahak- bahak) 
Tertawa dalam solat disaat rukuk ataupun sujud termasuk sebab yang membatalkan wudhu. Sedangkan tertawa terbahak – bahak diluar sholat atau dalam sholat yang tidak terdapat rukuk dan sujud, seperti sholat jenazah, maka tidak membatalkan wudhu.[vii]
12. Menyentuh wanita dengan syahwat
Yang dimaksud menyentuh wanita menurut Imam Abu Hanifah adalah jima’ atau berhubungan badan. Maka, hal tersebut termasuk kedalam naaqidh al- wudhu.[viii]
Madzhab Maliki
Secara garis besar, Imam Malik membagi kepada tiga hal yang termasuk naaqidh al- wudhu, yakni ahdats, asbaab, dan ar- riddah wa asy-syak.[ix]
1. Al- Ahdats
Yang dimaksud dengan ahdats yaitu segala sesuatu yang biasa keluar dari dua jalan -dubur dan qubul- adalah najis. Seperti air seni, kotoran, angin –baik yang keluar dengan suara atau tidak– , wadi (air bekas buang air kecil), mazi (air berwarna bening yang keluar ketika syahwat), hadi (air yang keluar dari kemaluan wanita disaat melahirkan), darah istihadhoh dan air mani, maka wajib berwudhu jika ingin melaksanakan sholat.
Sedangkan sesuatu yang keluar dari kedua jalan tersebut diluar kebiasaan pada umumnya, bukan merupakan naaqidh al- wudhu, seperti cacing, kerikil, darah dan nanah. Karena hal diatas tidak termasuk najis yang dapat membatalkan wudhu.
2. Al- Asbab
Al- Asbaab dalam pandangan madzhab Maliki adalah batalnya wudhu karena disebabkan oleh faktor lain diluar badan. Imam Malik membagi asbaab kedalam tiga golongan, yaitu :
a. Hilangnya akal disebabkan karena gila, pingsan ataupun karena mabuk yang disebabkan oleh minuman keras.
b. Menyentuh kemaluan dengan syahwat secara langsung (tanpa memakai alas) dengan telapak tangan atau ibu jari.
c. Ciuman, baik yang disertai syahwat atau tidak.
3. Ar-Riddah wa Asy- Syak
Menurut Imam Malik, ar-riddah dan asy-syak dapat membatalkan wudhu.
Ar- riddah yaitu orang yang murtad (keluar dari islam), maka wudhunya menjadi batal. Sedangkan asy-syak yaitu munculnya keragu – raguan apakah dalam keadaan berwudhu atau sedang hadats. Maka orang yang memiliki keraguan dalam hatinya tentang thoharoh badannya, diharuskan berwudhu kembali sampai ia benar – benar yakin.
Madzhab Syafi’i
Asy- Syafi’I menyebutkan ada empat hal yang termasuk kedalam sebab-sebab batalnya wudhu.[x]
1. Sesuatu yang keluar melewati satu dari dua jalan
Semua yang keluar dari salah satu jalan keluarnya najis maka termasuk membatalkan wudhu. Namun Imam Syafi’I mengecualikan air mani yang keluar dari tubuhnya sendiri (bukan mani yang menempel), tidak membatalkan wudhu. Karena jika mani keluar, maka wajib baginya mandi.
2. Hilangnya akal karena gila, pingsan atau tidur, kecuali tidur dalam posisi duduk.
3. Bertemunya khitanain (dua kemaluan) antara laki- laki dan wanita baik dengan sengaja atau tidak.
4. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan
Madzhab Hambali
Menurut madzhab Hambali ada delapan sebab batalnya wudhu[xi], diantaranya :
1. Semua yang keluar dari dua jalan
Menurut Imam Ahmad, semua yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) adalah membatalkan wudhu. Kecuali orang yang selalu berhadats, maka wudhunya tidak batal, sebagai bentuk keringanan atas kesulitan yang dihadapi.
2. Sesuatu yang keluar selain dari dua jalan
Najis yang keluar dari badan seperti nanah atau darah tidak membatalkan wudhu, kecuali dalam jumlah yang banyak.
3. Hilangnya akal
Hilangnya akal yang disebabkan karena gila, pingsan, mabuk ringan ataupun berat, tidur ringan dalam posisi ruku’, sujud, atau berbaring.
4. Menyentuh kemaluan atau dubur 
Menyentuh kemaluan atau dubur secara sengaja atau tidak, dengan telapak tangan bagian dalam atau luar, dan tanpa alas, maka wudhunya menjadi batal.
5. Menyentuh kemaluan
Menyentuh kemaluan laki- laki atau perempuan dengan syahwat, kecuali anak kecil di bawah usia tujuh tahun dan tanpa syahwat.
6. Memandikan mayat
Yang dimaksud disini adalah orang yang ikut memegang mayat secara langsung, bukan orang yang menyiramkan air ke badan mayat.
Sebab pembatalannya adalah karena orang yang memegang mayat kebanyakan akan menyentuh kemaluan si mayat. Sebagaimana yang pernah terjadi di zaman sahabat dalam sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ibn Umar dan Abu Hurairoh :
عن ابن عمر وابن عباس «أنهما كانا يأمران غاسل الميت بالوضوء» وقال أبو هريرة: «أقل ما فيه الوضوء»
“Dari Ibn Umar dan Ibn ‘Abbas, bahwa mereka berdua memerintahkan kepada orang yang memandikan mayat untuk berwudhu. Dan Abu Hurairoh berkata : setidaknya dengan berwudhu”
7. Memakan daging unta
Seseorang yang selesai makan daging unta wajib baginya wudhu dalam keadaan apapun.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Al- Barro’ bin ‘Azib :
(وَعَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: «سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ الْوُضُوءِ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ، فَقَالَ: تَوَضَّئُوا مِنْهَا وَسُئِلَ عَنْ لُحُومِ الْغَنَمِ، فَقَالَ: لَا تَوَضَّئُوا مِنْهَا
“Dari Al- Barro’ bin ‘Azib berkata: Rasulullah Saw ditanya tentang wudhu (ketika makan) daging unta. Beliau bersabda : berwudhulah kalian (setelah selesai makan). Kemudian sahabat bertanya apakah wajib berwudhu (ketika makan) daging kambing? Beliau menjawab : tidak ada wudhu setelahnya.”
(HR. Ahmad dan Abu Daud)
8. Wajib wudhu dalam hal yang diwajibkan mandi
Seperti orang yang berhubungan badan, keluarnya mani, islamnya orang kafir atau orang murtad yang kembali pada islam.
Perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan ulama diatas merupakan ijtihad yang telah mereka lakukan masing- masing, berdasarkan atas hadits – hadits dan ayat al-qur’an. Adanya perbedaan dikarenakan tidak adanya dalil secara pasti yang menjelaskan tentang sebab- sebab batalnya wudhu.
Maka sebagai orang awam, sebaiknya kita mengikuti salah satu ijtihad dari empat ulama diatas, sesuai dengan apa yang kita yakini.
Wallahu a’lam bish showab
Zuria Ulfi Simanjuntak
Pustaka :
[i] Al-Fiqhu Al- Islami wa Adillatuhu, DR. Wahbah Az- Zuhaili, bab nawaqidh Al- Wudhu juz 1/418
[ii] Al- Fiqhu Al- Islami wa Adillatuhu, juz 1/418
[iii] Al- Fiqhu Al- Islami wa Adillatuhu, juz 1/420
[iv] Badaai’ Ash- Shonaai’, juz 1/28
[v] Badaai’ Ash- Shonaai’, juz 1/25
[vi] Badaai’ Ash- Shonaai’, juz 1/25
[vii] Nailul Author, Asy- Syaukani w. 1250 H, juz 1/244 no. 247
[viii] Badaai’ Ash- Shonaai’, juz 1/32
[ix] Al- Fiqhu Al- Islami wa Adillatuhu, juz 1/429
[x] Al- Fiqhu Al- Islami wa Adillatuhu, juz 1/438
[xi] Al- Fiqhu Al- Islami wa Adillatuhu, juz 1/440